Saturday 29 April 2017

Islam dan persoalan hidup

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi, seperti kebutuhan makan, minum, handphone, tas, rumah, kendaraan dan lain sebagainya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita harus bekerja. Agama Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja. Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan Alquran dan Hadis. Dalam makalah ini akan membahas tentang hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja, keharusan profesionalisme dalam bekerja.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana hakekat hidup dan kerja dalam Islam?
2.      Seperti apa rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?
3.      Bagaimana akhlak dalam bekerja menurut Islam?
4.      Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Menjelaskan hakekat hidup dan kerja dalam Islam?
2.      Menjelaskan rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?
3.      Menjelaskan akhlak dalam bekerja menurut Islam?
4.      Menjelaskan keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?


 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam dan Persoalan Hidup dan Kerja
Hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja, keharusan professionalisme dalam bekerja.
1.        Hakekat hidup dan kerja
Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai potensi yang membawa kepada kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an , nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Allah swt. Katakana dalam surat al-Syams ayat 7-8“Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaanny, Allah mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketaqwaan”. Allah mengilhamkan, berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap ma’na baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Meskipun nafs berpotensi positif  dan negative, namun diperoleh pula isyaratka bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya Tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsnya. Firman Allah dalam surat al-Syams ayay 9-10.”sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang Mengotorinya”Kecendrungan nafs lebih kuat untuk kebaikan dipahami dari isyarat ayat, misalnya  terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 “  Allah  tidak membebani seseorang, tetapi  sesuai dengan kesanggupan nya.
Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya”Selain nafs, dalam diri manusia juga terdapat qalb yang sering diterjemahkan hati. Seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalb pun demikian, hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti alat, sebagaimana firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 179 “mereka mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk memahami”. Selain kata qalb,dalam al-qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Nahl “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu maka Dia memberimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati, agar kamu bersyukur  (mempergunakannya memperoleh pengetahuan)”Kemudian manusia juga memiliki ruh, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Isra’ ayat 85 “ Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” Ada yang berpendapat, bahwa ruh itu sama dengan nyawa,  tetapi apa bedanya manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain ?. Dalam surat al-mu’minun dijelaskan bawa dengan ditiupkannya ruh, maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lah ia mudah menerima wahyu dari Allah swt.
Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan nyawa. Manusia berpotensi mendapatkan  hidayah Karena mempunyai roh.Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga memiliki ‘aql. Kata ‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan lampau. Dari segi bahasa, kata ini dapat diartikan tali pengikat, penghalang. ‘Aql merupakan sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa.
Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 151 “…” dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan  Allah kecuali demi kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat memahaminya)” Menurut Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup, Islam  sangat memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang menjunjung tinggi “aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa terikat pada aturan-aturan Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah sebenarnya orang-orang yang ber’aqal.
Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan keji, ruhnya banyak berisikan wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali kejalan yang diredhai Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk   Demikianlah hakekat hidup manusia dengan berbagai potensi yang terdapat dalam dirinya untuk melaksanakan pekerjaan.

2.        Rahmat Allah Terhadap Orang Yang Rajin Bekerja
Umar bin Khattab khalifah ke dua setelah Abu bakar siddiq berkata “aku benci orang berpangku tangan, tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja untuk dunia atau untuk kepentingan di akherat kelak”Dalam hal ini khalifah umar sangat menghargai dan menyenangi orang yang rajin bekerja dan beraktifitas Sebagai muslim yang ta’at, Umar selalu mendorong umat Islam untuk memiliki semangat bekerja dan beramal, serta menjauhkan diri dari sifat malas.
Rasulullah bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan akau berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika hidup dan mati). (H.R Bukhari dan Muslim)Orang muslim yang akan berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya meninggalkan perbuatan yang melahirkan kemalasan/tidak produktif dan digantinya dengan amalam yang bermanfa’at. Sabda Rasulullah Saw. Dari Abu hurairah“ Sebaik-baik Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfa’at” (HR. Tarmizi).
Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan rezki yang halal dan  memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt. Firman-Nya :“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya  agar kamu beruntung” (al-Jmu’ah: 10)Dalam pandangan Islam bekerja merukapan bagian dari ibadah, makaaplikasi dan perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yangmencerminkan sifat terpuji, yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah dan tablig. Dari uraian diatas, dapat difahami, bahwa seorang muslim yang akan mendapat kasih sayang dari Allah swt.  Adalah  apabila orang itu jauh dari sifat malas, senang melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan waktu, menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.

3.        Akhlak dalam bekerja
Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan ciptaan Allah.
Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol  segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berzikir dan tawakal kepada-Nya. “ sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertawakal ( yaitu) orng-orng yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( sambbil berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini  dengan sis-sia, maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka” (Ali Imran ayat 190-191)
Dalam bekerja dia tulus dan patuh kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh melampai batas, selalu ta’at mengikuti bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia bertanggung jawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan untuknya. Bila ia mendapatkan kendala, segera mencari penyebabnya dan siap memikul semua konsekuensinya.
Dia memahami sabda Rasul Saw.  “Betapa indahnya  urusan orang Islam. Seluruh urusan (kerjanya) adalah baik bagi dirinya. Jika ia mengalami kemudahan, ia bersyukur, dan yang demikian itu baik bagi dirinya, jika ia mengalami kesulitan , ia menghadapinya dengan sabar dan tabah, dan itu pun juga baik bagi dirinya (HR. Bukhari).
Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan selalu bersyukur, ketika menghadapi kesulitan dia tabah dan sabar . Mudah dan sulit baginya sama, karena semua itu adalah untuk menguji kekuatan imannya. Pada saatnya ia mendapatkan kesalahan dalam bekerja, menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera bertobat, segera ingat akan Tuhannya, menghentikan segala kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya.
“Sesungguhnya  orang-orang yang bertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari setan, mereka segera ingat kepada Allah. Maka waktu itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya (al-A’raf :201) Demikianlah akhlak seorang muslim dalam bekerja.

4.        Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja
Profesional  berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjaan yang menjadi profesinya. Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memang ahlinya, tentu akan mendapatkan hasil yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan berantakan. Sabda Rasul Saw.  “Bila menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.
Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apa pun pekerjaannya, kalau ingin mengharapkan hasil yang berkualitas dan baik, maka dia harus profesional / ahli dalam pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya itu.
Ahli dalam bekerja, berarti  menguasai ilmu pengetahuan yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia harus berilmu tentang tanaman, pemupukan, pengiraan dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreativitas dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfa’at tentang pertanian akan muncul dalam dirinya.
Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan dimiliki manakala seseorang selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan apapun bentuk pekerjanya.
Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli dalam ilmu keguruan, jangan setengah-setengah, tapi belajar, terus belajar tentang profesi keguruan  sampai akhir hayatnya.
Firmam Allah dalam al-Baqarah : 208  ”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian /Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuhmu yang nyata”. Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas  apapun yang dilakukan menuntut pelakunya untuk berilmu  secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) sesuai dengan profesinya.
Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya  kedalam wadah islam secara menyeluruh, sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah islam /kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh tumbuhan dan alam raya semuanya. Wadah Islam secara menyeluruh yang dimaksud juga penguasaan ilmu islam secara menyeluruh sehingga mampu melaksanakan aktifitas islam dengan berkualitas dan bermutu.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Manusia diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu karena Allah tidak menurunkan harta benda, iptek dan kekuasaan dari langit melainkan manusia harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian atau ketidak ketergantungan kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan syarat itu adalah memahami konsep dasar bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini, maka akan terbangun etos kerja yang tinggi.
Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, dan memenuhi ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi balasan dalam memilih jenis pekerjaan yang halal dan haram.

B.     Saran
Bekerja dengan sunguh-sunguh merupakan mencirikan seorang muslim yang taat kepada Allah Swt. Allah tidak merubah nasib suatu kaum selain kaum itu merubah nasibnya sendiri, kehidupan kita tidak terlepas dari kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangan. Untuk memperoleh itu semua kita harus bekerja untuk memperoleh kondisi ekonomi yang baik, Islam sudah memberikan penjelasan bagaimana cara bekerja secara sungguh-sungguh dan professional. Marilah kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt dan memperoleh rezeki yang halal.









DAFTAR PUSTAKA

KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2-26.
Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hlm. 36-38.
Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo, 1992, hlm. 18-20
KH. Toto Tasmara, Ibid, hlm. 73-139.

Makalah Mu'amalah

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat. Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.
Secara bahasa, kata Mu’amalat yang kata tunggalnya mu’amalah yang berakar pada kata ﻋامل secara arti kata mengandung arti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang-orang”.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka kami dapat  mengambil kesimpulan bahwa rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui hakekat mu'amalah
Mengetahui ruang lingkup mu'amalah
Mengetahui prinsip-prinsip mu'amalah
Mengetahui akhlak bermu'amalah
Mengetahui pandangan Islam tentang kehidupan dunia
Mengetahui makna spiritual tentang kejayaan hidup





Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
Dapat memberi pemahaman tentang Mu'amalah.
Dapat memberikan pengetahuan bagi pembaca makalah ini.

Batasan Masalah

Mu’amalah adalah hukum islam yang mengatur tentang hubungan antar manusia. Mu’amalah terdiri dari:
Jual-beli
Hukum Perdata
Hukum Pidana
Hukum Nikah (Munakaha)
Khiyar
Syirkah (Kerja Sama)
Bank, Riba, dan Rente
Asuransi
‘Ariyah (Pinjaman)
Hiwalah (Pemindahan Utang)
Al-Rahn (Gadai/Peminjaman dengan jaminan)
Al-Ijarah (Sewa-menyewa dan Upah)

Dalam makalah ini, kami hanya akan menjelaskan hukum Mu’amalah tentang jual-beli.





BAB II
PEMBAHASAN

Hakekat Mu'amalah
Mu’amalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah, yaitu saling berbuat. Kata ini, menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau Mu’amalah secara etimologi itu artinya saling bertindak, atau saling mengamalkan.
Secara terminologi, Mu’amalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian mu’amalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian mu’amalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan dunia dalam pergaulan sosial.
Pengertian mu’amalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang memperbolehkan manusia saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib mentaati-Nya.
Dalam buku enslikopedia islam jilid 3 halaman 245 dijelaskan bahwa mu’amalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, seperti perseoran, firma, yayasan, dan negara. Contoh hukum islam yang termasuk mu’amalah, seperti Jual-beli, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Nikah (Munakaha), Khiyar, Syirkah (Kerja Sama), Bank, Riba, dan Rente, Asuransi, ‘Ariyah (Pinjaman), Hiwalah (Pemindahan Utang), Al-Rahn (Gadai/Peminjaman dengan jaminan),Al-Ijarah (Sewa-menyewa dan Upah).
Jadi, Mu’amalat adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia,dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalat juga merupakan tatacara atau peraturan dalam perhubungan manusia sesama manusia untuk memenuhi keperluan masing-masing yang berlandaskan syariat Allah s.w.t yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam.

Ruang Lingkup Mu'amalah
Ruang lingkup mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup mu’amalah madiyah dan adabiyah.
Ruang lingkup pembahasan mu’amalah madiyah ialah masalah:
Jual-beli (al-ba’i/al-tijarah)
Gadai (al-rahn)
Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
Pemindahan utang (al-hiwalah)
Batasan bertindak (al-hajru)
Perseroan atau pengkongsian (al-syirkah)
Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
Sewa-menyewa (al-ijarah)
Pemberian hak guna pakai (al-‘araiyah)
Barang titipan (al-wadhi’ah)
Barang temuan (al-luqathah)
Garapan tanah (al-muzara’ah)
Sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah)
Upah (ujrah al-‘amal)
Gugatan (al-syuf’ah)
Sayembara (al-ji’alah)
Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
Pemberian (al-hibah)
Pembebasan (al-ibra’)
Damai (al-shulhu)
Masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.

Ruang lingkup mu’amalah yang bersifat adabiyah ialah masalah:
Ijab kabul
Saling merindai
Hak dan kewajiban
Kejujuran pedagang
Penipuan
Pemalsuan
Penimbunan
Segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.

Prinsip - Prinsip Mu'amalah
Kata prinsip, diartikan sebagai asas, pokok, penting, permulaan, fundamental, dan aturan pokok. Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya:
Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
Muamalat dilakukan atas dasar sukarela , tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.
Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Bahwa sesuatu bentuk muamalat dilakukan ats dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.
Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti : riba, ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan , dll





Akhlak Bermu'amalah
Macam-macam akhlak bermu’amalah adalah Shiddiq, Istiqamah, Fathanah, Amanah, Tablig.
Shiddiq artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang benar berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada kontradiksi dan pertentagan yang disengaja antaea ucapan dengan perbuatan. Karena itu Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa memiliki sifat shiddiq dan menciptakan lingkungan yang shiddiq. Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran ditampilka dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan. Baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan, mengakui kelemahan dan kerugian (tidak ditutup-tutupi) untuk kemudian diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhkan diri dari berbuat bohong dan menipu (baik pada diri, teman sejawat, perusahaan maupun mitra kerja)
Istiqamah mempunyai arti konsisten dalam ima dan nilai-nilai yang baik, meskipun menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Misalnya interaksi yang kuat dengan Allah dalam bentuk shalat, zikir, membaca Al-Qur’an, dan lain-lain. Proses itu menumbuh-kembangkan suatu sistem yang memungkinkan, kebaikan, kejujuran, dan keterbukaan teraplikasikan dengan baik. Sebaliknya, keburukan dan ketidak jujuran akan terduksi dan ternafikan secara nyata. Orang dan lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus mendapatkan solusi dan jalan keluar dari segala persoalan yang ada.
Fathanah mempunyai arti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini aka menumbuhkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Kreatif dan inovatif hanya mungkin dimiliki manakala seorang selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi, baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun perusahaan secara umum. Sifat fathanah (perpaduan antara ‘alim dan hafidz) telah mengantarkan Nabi Yusuf a.s. dan timnya berhasil membangun kembali negeri Mesir. Dan sifat itu pula yang mengantarkan Nabi Muhammad saw. (sebelum menjadi nabi) oada keberhasilan dalam kegiatan perdagangan (riwayat Imam Bukhari)
Amanah, mempunyai arti bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah harus dimiliki setiap mukmin, apalagi yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat.dalam sebuah hadists dikemukakan bahwa Rasulullulah saw. bersabada bahwa amanah itu akan menarik rezeki, sebaiknya khianat itu akan mengakibatkan kefakiran.
Tabligh berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksaakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. tabligh yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat.

Pandangan Islam Tentang Kehidupan Dunia
Manusia dewasa ini telah berada di persimpangan jalan, antara agama dan kemajuan ilmu pengetahuan. Kebimbangan pun datang mengusik lamunan di malam hari, membangunkan dari mimpi-mimpi indahnya sepanjang malam. Manusia cenderung menilai realita kehidupan dunia yang tampak di depan mata tanpa menoleh fenomena kehidupan di masa lalu. Ada sebagian darinya yang tidak merujuk kepada perintah-perintah agama sebagai pedoman hidup di dunia. Padahal, sejarah peradaban manusia telah terukir dari beberapa peristiwa kebajikan dan kebathilan. Padahal, yang di cari manusia dalam kehidupan di dunia adalah kebahagiaan.
Terangkatnya posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi merupakan suatu kemuliaan yang tinggi dari Allah swt. Alam dan seisinya juga dipersembahkan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya tanpa harus membayar upeti kepada Allah. Anugerah yang tidak ternilai berupa akal seharusnya mampu menjadikan manusia sebagai sosok kekhalifahannya, mulia. Tetapi, mengapa manusia masih berambisi mencari kehidupan dunia sebagai sesuatu yang kekal? Dunia bukanlah semata-mata warisan untuk anak cucu manusia , tetapi sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Syeikh Muhammad ‘Ali as Shobuni dalam kitabnya Shofwatu al Tafasir menuliskan bahwa Allah swt menciptakan langit dan bumi hanya dalam enam hari. Hal ini bukan menunjukkan bahwa Allah swt tidak mampu menciptakannya hanya dalam sekejap, namun Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba Nya satu sifat yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan. Dan masih ada beberapa firman Allah yang menjelaskan tentang penciptaan dunia, namun penulis dalam hal ini lebih termotivasi dalam membahas kehidupan dunia.
Sebuah realita tentang kehidupan dunia abad ini diterjemahkan sebagai kehidupan yang sementara, tempat untuk bersenang-senang, kehidupan modern, kehidupan yang abadi dan sebuah kehidupan yang fana. Di sisi lain kehidupan dunia dipandang sebagai jembatan menuju kehidupan setelah mati (akhirat), tempat mencari amal kebajikan, tempat menimba ilmu pengetahuan dan lain-lainya. Berangkat dari pemahaman di atas maka nyatalah kehidupan dunia yang fana ini hanyalah sebuah ujian bagaimana mengemban tugas-tugas kehidupan dan amanat kemanusiaan. Dengan demikian manusia akan merasa puas dan hidup tidak menjadi sia-sia tanpa melemahkan semangat berjuang dalam kehidupan.
Akhirnya, dapatlah digambarkan bahwa persepsi kehidupan dunia memiliki tujuan yang beragam, yaitu; kesenangan, kemegahan, kesehatan, kepintaran, kesuksesan, ketenteraman jiwa, ketenangan hidup dan kebahagiaan. Tidak cukup sampai disitu, manusia akan terus mempertanyakannya setelah mampu meraih segala apa yang diinginkannya atau sebaliknya, manusia akan terus mencari-cari jawaban dari sebuah pertanyaan yang membosankan.
Mengapa pertanyaan demi pertanyaan itu muncul seolah tidak merasa puas dengan kenyataan hidup, atau sebaliknya? Islam sebagai agama melalui kajian al qur’an dan hadits-hadits Rasulullah dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan tersebut dengan menanamkan kepercayaan terhadap Allah dan Rasulullah. Oleh karena itu jugalah penulis mencoba menghadirkan jawaban-jawaban yang bersumber dari nash-nash al Qur’an dan beberapa Hadits Nabi saw, sekaligus dapat memberikan keyakinan yang kuat dalam diri.
Jikalau manusia menjadikan kehidupan dunia sebagai bentuk yang mempesonakan terhadap kemewahan harta, kebanggaan memiliki anak-anak dan lainnya, atau sangat mencintai perabot kehidupan duniawi, sehingga lalai dan lupa akan sebuah hakikat, maka islam menjawabnya, bahwa semua bentuk kesenangan dunia tersebut bersifat temporer, sebuah sandiwara, permainan dan kesenangan sesaat. Maka, untuk apa terlalu mengejar kesenangan sesaat sementara kesenangan yang kekal dan hakikat adalah akhirat?.
Gambaran kehidupan dunia dengan perumpamaan seperti di atas bukanlah bermaksud untuk meremehkan kehidupan dunia, namun sebagai satu peringatan agar manusia tidak terlena dan lalai, atau tidak menjadikan hidup mereka sia-sia dan merugi. Kemudian islam menawarkan kehidupan akhirat yang kekal sebagai tempat bersenang-senang yang abadi, dan hal ini tentunya menjadi kabar gembira bagi mereka yang percaya kepada Allah dan kehidupan di akhirat. Ada beberapa dalil al Qur’an dan Hadits Nabi saw di bawah ini yang bisa dijadikan pedoman bagi manusia dalam menyikapi kehidupan dunia, dan mungkin sebagai renungan bersama, diantaranya adalah:
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya akhirat itulah sebenar-benar kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al ‘Ankabut: 64).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (al Munafiqun: 9).
Telah menjadi ketentuan Allah jikalau manusia hidup sebagai makhluk sosial, bertetangga, bergaul dengan sesama walaupun terdapat perbedaan bahasa, suku dan warna kulit. Lantas agama menjawabnya agar manusia menjaga tali silaturrahmi dan saling mengenal antar satu dengan lainnya, saling menghormati dan menghargai hak-hak sesama. Islam mengakui kemajemukan manusia sebagai suatu komunitas plural, tetapi bukan untuk saling membedakan, namun untuk saling mengenal antar satu dengan lainnya. Islam melarang untuk berlaku sombong dan angkuh karen perbedaan posisi, keadaan, suku, ras, dan lainnya. Dan kesombongan itu tidak sepantasnya dilakukan manusia karena segala sesuatunya akan kembali kepada Allah Yang Maha Menciptakan.
Kesuksesan manusia dalam meningkatkan mutu dan kualitas ilmu pengetahuannya memang perlu untuk dibanggakan, namun kebanggan itu bukan untuk menjadikan dirinya sombong, angkuh dan tidak tunduk kepada Allah. Manusia lebih cenderung menyibukkan dirinya dengan kesuksesan duniawi, namun lalai akan mengerjakan amal shalih. Manusia mampu seharian duduk di kantornya, namun ketika suara azan memanggilnya untuk sholat dilalaikan. Apalah artinya segudang ilmu dan kekayaan, namun sholat saja masih dilalaikan. Apa gunanya semashur nama di mata masyarakat, namun masih menyimpan perasaan iri, dengki dan menceriterakan prihal orang lain dibelakang. Allah Maha Mendengar dari segala perkataan manusia.
Islam tidak membedakan status sosial antara si miskin dan kaya, seharusnya si kaya yang menyantuni, mengasihi dan menyayangi si miskin dan bukan untuk membeda-bedakan derajat. Allah yang menurunkan rezeki, meluaskan dan menyempitkannya. Apakah pantas bagi manusia untuk berlaku bakhil dan kikir? Nyatalah, yang menjadi pembeda adalah mereka yang paling bertaqwa, bukan mereka yang lebih putih, kaya, cantik, dan berkedudukan. Kesuksesan manusia merupakan kesempatan baik yang diberikan Allah, tetapi Allah juga Maha Mampu merubah kesempatan baik itu sebagai ujian bagi manusia.
Kehidupan dunia adalah sebuah ketentuan Allah (sunnatullah) yang tidak mungkin ada seorangpun yang mampu merubahnya. Seperti halnya perputaran langit dan bumi, tanam-tanaman yang tumbuh subur, gunung-gunung yang Allah tinggikan dan tangguhkan, lautan dan daratan yang terbentang luas.
Kemudian dalam kehidupan dunia dijadikan tempat untuk bercocok tanam, berternak dan lainnya. Dunia merupakan tempat manusia berkembang biak dan meneruskan sejarah. Semua penciptaan ini merupakan sunnatulah yang harus disyukuri oleh manusia sebagai makhluk yang lemah di hadapan Allah swt. Inilah dari tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang mau merenungi.
Manusia tidak melihat kekuasaan Allah Yang Maha Mampu dalam mengatur peredaran benda-benda langit. Manusia ingkar dan meremehkan kekuasaan Allah. Padahal manusia sangat lemah dihadapan Allah. Manusia lupa dan amat jarang merenungi beberapa kekuasaan Allah. Padahal, kepada Allah dan Rasulullah sebaik-baik pengaduan dari segala urusan. Dunia memang salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah swt yang nyata, agar manusia benar-benar beriman dan tunduk kepada Nya.
Bagi orang-orang yang beriman, Allah menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan untuk kehidupan yang kekal (akhirat). Allah membimbing mereka meraih dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengajarkan mereka untuk mencari nafkah di dunia tanpa melalaikan waktunya untuk mengingat Allah. Dan juga memberikan kabar gembira sekaligus menuntun mereka dengan ajaran islam bahwa kehidupan dunia sebagai kehidupan untuk bertaubat dan mencari bekal di akhirat. Karena itu Allah menganjurkan manusia supaya teliliti dengan kehidupan dunia ini agar hidup tidak sia-sia. Membimbing manusia sebagai makhluk yang pandai bersyukur. Semua ini tidak lain hanyalah ujian bagi orang-orang yang beriman kepada Nya dan mengikuti ajaran islam.

Makna Spiritual tentang Kejayaan Hidup
Masyarakat modern dewasa ini menghadapi problem yang sangat serius yaitu alienasi. Alienasi dalam pandangan Eric Fromm (1995) sejenis penyakit kejiwaan dimana seseorang tidak lagi merasa memiliki dirinya sendiri, sebagai pusat dunianya sendiri melainkan terenggut kedalam mekanisme yang sudah tidak lagi mampu dikendalikan. Masyarakat modern merasakan kebingungan, keterasingan dan kesepian karena apa yang dilakukan bukan atas kehendaknya sendiri melainkan adanya kekuatan luar yang tidak diketahuinya menurut perasaan dan akalnya.
Itulah yang juga dikritik oleh Karl Marx, dia menilai akumulasi modal dan alat produksi pada sekelompok elite membuat dunia mengalami kesenjangan sosial yang hanya memunculkan kemiskinan massal di mana rakyat yang miskin semakin miskin dan yang kaya menjadi kaya. Orang miskin menjadi sangat bergantung pada pemilik modal yang menguasai pusat-pusat produksi dan ekonomi sehingga kebebasan individu untuk memilih pekerjaan sebagai aktualisasi diri tidak mendapatkan tempat yang kondusif. Penindasan terjadi secara terus menerus mereka bekerja hanya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya semata sementara disisi lain pemilik modal memeras dengan seenaknya.
Kritik Karl Marx hampir sulit diingkari kebenarannya tentang problem alienasi pada masyarakat modern, hal ini juga diperkuat oleh pandangan Chistropher Lasch yang menyebutkan bahwa krisis kejiwaan yang menimpa masyarakat kapitalis terutama barat telah menyebabkan mereka kehilangan sense of meaning dalam hidupnya.
Relevansi dari kuatnya arus globalisasi sebagai bukti dari perkembangan zaman menurut pendapat sebagian pakar merupakan proses menghilangnya sekat-sekat pembatasan ruang dan waktu yang berdampak kepada semakin transparannya proses transformasi nilai-nilai dan terjadinya asimilasi budaya yang semakin cepat dan nyaris tanpa batas (the world without border) (Tilaar, 2000).
Kondisi demikian pada akhirnya menjadikan individu dituntut untuk semakin kompetitif dan mampu bersaing dengan individu yang lainnya. Pada saat itu, individu yang lambat akan tertinggal dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya, kesuksesan hanya akan dimiliki oleh individu yang mampu bersaing dan memiliki kedewasaan dalam berpikir dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat pada hakikatnya adalah sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan sistem lain. Keterbukaan sistem sebagai dampak globalisasi mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan mewarnai cara berpikir dan perilaku manusia.
Nilai menjadi hal yang penting pada tiap fase perkembangan individu karena nilai menjadi dasar dalam menentukan pengambilan keputusan. Rusaknya nilai dalam mesyarakat tentunya berdampak negatif pula terhadap perkembangan masyarakat itu sendiri. Sebagai imbasnya setiap aspek kehidupan, baik yang secara langsung atau tak langsung memberikan pengaruh terhadap masyarakat ikut terganggu dan bahkan menjadi "hancur" (Tirtarahardja,1994).
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya mengalami percepatan. Percepatan perubahan ini berdampak kepada hal-hal sebagai berikut: (1) kecenderungan globalisasi yang makin kuat; (2) perkembangan IPTEK yang makin pesat; (3) perkembangan arus informasi yang makin padat dan cepat, dan (4) tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai aspek kehidupan manusia. (Tirtarahardja, 1994).
Alfin Tofler (Ancok, 2002) menggambarkan kemasakinian dalam konteks peradaban dunia dengan istilah Gelombang Keempat (Fourt Wave); yaitu respiritulisasi berupa bentuk akomodatif terhadap potensi dan antisipatif terhadap tantangan dan perubahan yang semakin cepat, dengan jalan membentuk kerjasama antar tiap individu dalam adegan mikro, messo dan juga makro; sehingga terjadi suatu harmoni dalam kehidupan dan keseimbangan (equilibirium) dalam tatanan kehidupan, baik dengan individu itu sendiri, alam, maupun dengan lingkungan sekitar.
Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa manusia modern dengan kemajuan teknologi dan pengetahuannya telah tercebur kedalam lembah pemujaan terhadap pemenuhan materi semata namun tidak mampu menjawab problem kehidupan yang sedang hadapinya. Kehidupan yang dilandasi kebaikan tidaklah bisa hanya bertumpu pada materi melainkan pada dimensi spiritual.
Terkait dengan aspek spiritualitas atau pada istilah lain adalah releigiusitas/ transedensi, dalam kajian keilmuan bimbingan dan konseling terdapat beberapa pandangan yang disampaikan para ahli psikologi, khususnya yang beraliran fenomenologis-eksistensial. Pertama, yang dipelopori oleh Viktor E. Frankl dengan faham Logo Terapinya; dan kedua, Abraham E. Maslow dengan te'ori kebutuhannya (need theory) mencetuskan tentang konsep yang terkait dengan upaya membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal, walaupun dengan pemaknaan dan perspektif yang berbeda untuk masing-masing faham. Frankl memaknai transen-densi sebagai akumulasi pengalaman individu yang bertendensi negatif dan positif, sehingga melahirkan kebermaknaan hidup; sedangkan Maslow memaknai trensendensi sebagai pencapaian aktualisasi diri (self actualization) oleh individu.
Walaupun perspektif mereka berbeda, akan tetapi yang perlu dicatat di sini adalah keberanian dan pencapaian "kontemplasi" mereka dalam mengetengahkan tentang sisi keterbatasan individu dalam memahami peristiwa ataupun pengalaman yang dialami individu yang berada di luar jangkauan pemahaman inderawi dan nalar logik manusiawi. Dari pemahaman itu, pada akhirnya mendorong individu untuk meyakini hakikat ketuhanan, menyadarkan akan kelemahan yang dimilikinya, dan sekaligus menjadi motivasi untuk mengembangkan potensi diri secara proporsional.
Faham-faham yang dilontarkan para tokoh aliran fenomeno-logis-eksistensial tersebut secara langsung membantah pandangan psikoanalitik yang cenderung memandang individu dari sudut negatif dengan sifat-sifatnya yang pesimisitik, deterministik, dan juga penuh kecemasan; begitupun behavioristik yang memandang individu mekanistik yang dapat diubah dengan formula S-R (Stimulus dan Respon). Faham ini seolah menyadarkan individu tentang hakikat hidup dan potensi diri yang sesungguhnya masih banyak yang belum terungkap, sehingga mengantarkan individu untuk meyakini terhadap suatu kekuatan yang berada di luar jangkauan dan kekuatan diri mereka.
Nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan individu menjadi urgen karena pada diri individu terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikiran dan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi yang bersifat fisik (Hidayat, 2002). Kecenderungan ini membawa pada suatu kesadaran diri (self awareness) tentang kelebihan dan kelemahan diri, dan keterbatasan aspek-aspek inderawi dalam memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan fisik dan rasio kamanusiaan.
Dimensi spiritualitas dalam aktivitas konseling menjadi cukup signifikan, karena konseling merupakan aktivitas yang fokus pada upaya membantu (building relationship) individu/klien dengan segala potensi dan keunikannya untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sementara itu dimensi spiritualitas berfungsi sebagai radar yang mengarahkan pada suatu titik tentang realitas, bahwa terdapat aspek-aspek kompleks pada diri individu yang tak terjangkau untuk ditelusuri dan dijamah, serta menyadarkan bahwa aspek hidayah hanya datang dari Sang Penggenggam kehidupan itu sendiri.Dimensi pada akhirnya menjadi penting pada aktivitas konseling, yang berupa motivasi untuk semakin konsisten dengan profesi yang ditekuni dan menimbulkan kobaran api semangat untuk membantu individu/klien dengan penuh keikhlasan, serta menciptakan nilai-nilai luhur keyakinan pada aktivitas bantuan yang dilakukan dalam bentuk empati, perhatian, dan kasih sayang.
Hal utama kaitan dimensi spiritualitas dalam konseling adalah upaya memandang sebagai bagian dari proses kepentingan pembinaan tersebut. Oleh karena itu, dimensi spiritual dalam bimbingan konseling selalu mengutamakan hakekat manusia. Sebagai keilmuan yang mengkaji tentang hubungan kemanusiaan, maka bimbingan dan konseling memiliki pandangan tentang dimensi kemanusiaan. Djawad Dahlan (2002) memaparkan dimensi kemanusiaan dalam perspektif bimbingan dan konseling sebagai berikut:
1. Pandangan yang menganggap manusia sebagai makhluk yang pada dasarya bersifat deterministik, pesimistik, mekanistik dan reduksionalistik. Menurut pandangan ini, individu dipan-dang tidak mampu meraih kebebasan susila, karena segala gerak dan ucapnya dipandang datang dan ditentukan oleh dorongan-dorongan instinktif yang tidak terbendung, tidak dapat dikendalikan dan bahkan tidak mungkin untuk dikenal. Segala perilaku manusia, bahkan yang bersifat etis religius pun dipandangnya tidak lain sebagai sublimasi dari dorongan-dorongan tidak disadari.
2. Terdapat juga konsep bimbingan dan konseling yang berwama behavioristik. Pandangan ini pun menyandang ciri deterministik, sehingga perilaku individu menurut paham ini, sepenuhnya dapat ditentukan dan ditempa dari luar, melalui pembentukan hubungan stimulus-respon, latihan atau training. Latihan, pembiasaan, reinforcement, extinction, desentisitasi, merupakan tindakan-tindakan lunci untuk merubah perilaku klien. Sederhananya individu adalah makhluk mekanistik yang dapat dikendalikan dari luar oleh lingkungan.
3.  Pandangan yang agak sejalan dengan pemberian latihan untuk berbuat, mengimplikasikan bahwa pemberian bantuan kepada klien hendaknya berupa peningkatan keterampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sekarang ini, dalam kehidupan ini, di tempat ini dan dengan kondisi seperti ini. Keterlibatan kepada tempat, waktu, situasi dan kondisi, membuat klien sulit untuk mempunyai pandangan kedepan. Bagi mereka, keadaan seperti ini tidak dipandang sebagai persoaian yang serius, karena memang segala sesuatu tiada yang tetap, melainkan selalu berubah.

Berdasarkan ketiga pandangan di atas, lebih lanjut Djawad Dahlan (2002) menegaskan bahwa apabila pandangan tersebut selamanya menjadi referensi bagi upaya membantu perkembangan klien, tentunya individu hanya dihargai sebagai makhluk yang degradasi yang sepenuhnya tunduk kepada naluri dan dorongan impulsif, atau tunduk kepada kekuasaan dari !uar dirinya, maka muncuilah pandangan lain yang diametral dan mendewa-dewakan manusia.
Pandangan ini bersifat optimistis, penuh harapan terhadap kemampuan individu dan memandangnya memiliki kemampuan untuk berbuat sendiri di bumi ini dan menentukkan tujuannya sendiri. Himbauannya terhadap pendidikan dan bimbingan dan konseling ialah agar individu dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Akan tetapi kebebasan berpikir dan mengembangakan diri yang dilakukan klien tidak menutup kemungkinan akan berbenturan dengan tata nilai dan norma yang berlaku di keluarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat, apalagi jikalau satuan norma yang berlaku lebih banyak bermuatan aspek kebebasan dari tatanan nilai-nilai agama dan spiritual.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mu’amalat adalah semua hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia,dengan memandang kepada aktivitas hidup seseorang seperti jual-beli, tukar-menukar, pinjam-meminjam dan sebagainya. Muamalat juga merupakan tatacara atau peraturan dalam perhubungan manusia sesama manusia untuk memenuhi keperluan masing-masing yang berlandaskan syariat Allah s.w.t yang melibatkan bidang ekonomi dan sosial Islam. Ruang lingkup mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup mu’amalah madiyah dan adabiyah. Diharamkan riba, ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan dalam bermu’amalah. Dan macam-macam akhlak bermu’amalah adalah Shiddiq, Istiqamah, Fathanah, Amanah, Tablig.

Friday 28 April 2017

Reading pessage tips

CHAPTER I
INTRODUCTION
A. ISSUE BACKGROUND
Reading is a complex "cognitive process" of decoding symbols in order to construct or derive meaning (reading comprehension). Reading is a means of language acquisition, communication, and of sharing information and ideas. Like all languages, it is a complex interaction between the text and the reader which is shaped by the reader’s prior knowledge, experiences, attitude, and language community which is culturally and socially situated. There a reading process requires continuous practice, development, and refinement. In addition, reading requires creativity and critical analysis. Consumers of literature make ventures with each piece, innately deviating from literal words to create images that make sense to them in the unfamiliar places the texts describe. Because reading is such a complex process, it cannot be controlled or restricted to one or two interpretations. There are no concrete laws in reading, but rather allows readers an escape to produce their own products introspectively. This promotes deep exploration of texts during interpretation. Readers use a variety of reading strategies to assist with decoding (to translate symbols into sounds or visual representations of speech) and comprehension. Readers may use context clues to identify the meaning of unknown words. Readers integrate the words they have read into their existing framework of knowledge or schema (schemata theory).
Other types of reading are not speech based writing systems, such as music notation or pictograms. The common link is the interpretation of symbols to extract the meaning from the visual notations or tactile signals (as in the case of Braille).



B. PURPOSE.
1. For to know inference
2. For to know making prediction
3. For to know critical reading


CHAPTER II
THEORITICAL STUDIES
A.   DEFINITION INFERENCE
Inference is using observation and background to reach a logical conclusion. You probably practice inference every day. For example, if you see someone eating a new food and he or she makes a face, then you infer he does not like it. Or if someone slams a door, you can infer that she is upset about something.
Before you can begin to practice inference in literature, you should know what you are looking for. Your goal is to find the intended meaning of the text. Intended meaning is what we think the author is trying to teach us.
Why is it important to make inferences? When writing a story, an author will not include all the information for us. He/she will expect us to read between the lines and reach conclusions about the text. When making inferences, you are looking beyond what is stated in the text and finding the ideas to which the author only hints. This makes you a more active reader and critical thinker. It also makes it easier to understand what the author is sharing with you.
1. How to Practice Making Inferences
When reading, we make inferences through the author, the text and our response. The first step to reaching a conclusion of the intended meaning of a writing is to look at the author. You should spend time reading the author's biography. Look at his/her other works and see what they have in common. Also, look at the historical and cultural context of the writing. This will help give you a background of the writing that you can use in the next step of reading.
After you have taken time to read about the author, you are ready to start to read the writing. Your goal as you read is to make conclusions. These conclusions are not stated, but you should read between the lines to understand what the author is trying to say. As you read, make guesses. Try to guess what will happen next in the story, what a character may say or think or even what other characters not in the scene are doing. Next, ask questions.
a. Why are the characters acting a certain way?
b. What are they thinking? Where are they going?
c. What are they feeling?
d. What do you already know?
e. What is missing?
f. Why is the author not including information?
After this, you should make predictions.
a. What do you think will happen next?
b. How will a character react?
c. What will the outcome be?
Finally, you should find connections in the details. After you have made predictions, see what is missing or stated in the details and make connections. Fill in the missing information using your questions, guesses and predictions.
When you finish reading the text, you should take time to fill in between the lines by looking at your response and experience. Take time to review the guesses and predictions you had made and see which ones are correct.
B.   MAKING PREDICTION.
Making predictions is a strategy in which readers use information from a text (including titles, headings, pictures, and diagrams) and their own personal experiences to anticipate what they are about to read (or what comes next). A reader involved in making predictions is focused on the text at hand, constantly thinking ahead and also refining, revising, and verifying his or her predictions. This strategy also helps students make connections between their prior knowledge and the text.

Students may initially be more comfortable making predictions about fiction than nonfiction or informational text. This may be due to the fact that fiction is more commonly used in early reading instruction. Students also tend to be more comfortable with the structure of narrative text than they are with the features and structures used in informational text. However, the strategy is important for all types of text. Teachers should make sure to include time for instruction, modeling, and practice as students read informational text. They can also help students successfully make predictions about informational text by ensuring that students have sufficient background knowledge before beginning to read the text.
Predicting is also a process skill used in science. In this context, a prediction is made about the outcome of a future event based upon a pattern of evidence. Students might predict that a seed will sprout based on their past experiences with plants or that it will rain tomorrow based on today’s weather. Teachers can help students develop proficiency with this skill by making connections between predicting while reading and predicting in science. Students will not necessarily make these connections independently, so teacher talk and questioning are important.
Sometimes, teachers will usea the terms prediction and hypothesis interchangeably in science. While the terms are similar, there are subtle differences between the two. A hypothesis is a specific type of prediction made when designing and conducting an investigation in which a variable is changed. For example, students might write a hypothesis about what will happen to a plant’s growth if the amount of water is increased. A hypothesis is often written as an “If…then…” statement.
The distinction between a prediction and a hypothesis is not something that elementary students need to understand and explain. However, teachers can be cognizant of how they use these words during science instruction – using prediction for statements of what might happen based on prior knowledge or evidence and hypothesis only when an investigation calls for a variable to be changed

C.   CRITICAL READING.
To the critical reader, any single text provides but one portrayal of the facts, one individual’s “take” on the subject matter. Critical readers thus recognize not only what a text says, but also how that text portrays the subject matter.  They recognize the various ways in which each and every text is the unique creation of a unique author.
A non-critical reader might read a history book to learn the facts of the situation or to discover an accepted interpretation of those events. A critical reader might read the same work to appreciate how a particular perspective on the events and a particular selection of facts can lead to particular understanding.
What a Text Says, Does, and Means: Reaching for an Interpretation Non-critical reading is satisfied with recognizing what a text says and restating the key remarks. Critical reading goes two steps further.  Having recognized what a text  says , it reflects on what the text  does  by making such remarks.  Is it offering examples?  Arguing?  Appealing for sympathy?  Making a contrast to clarify a point? Finally, critical readers then infer what the text, as a whole,   means , based on the earlier analysis.
These three steps or modes of analysis are reflected in three types of reading and discussion:
What a text says     – restatement
What a text does    – description
What a text means – interpretation .




You can distinguish each mode of analysis by the subject matter of the discussion:
What a text says – restatement – talks about the same topic as the original text
What a text does – description – discusses aspects of the discussion itself
What a text means – interpretation — analyzes the text and asserts a meaning for the text as a whole
Goals of Critical Reading
Textbooks on critical reading commonly ask students to accomplish certain goals:
to recognize an author’s purpose          
to understand tone and persuasive elements
to recognize bias
Notice that none of these goals actually refers to something on the page. Each requires inferences from evidence within the text:
recognizing purpose involves inferring a basis for choices of content and language
recognizing tone and persuasive elements involves classifying the nature of language choices
recognizing bias involves classifying the nature of patterns of choice of content and language
Critical reading is not simply close and careful reading. To read critically, one must actively recognize and analyze evidence upon the page.
Analysis and Inference: The Tools of Critical Reading
These web pages are designed to take the mystery out of critical reading. They are designed to show you what to look for ( analysis ) and how to think about what you find ( inference ) .
The first part —what to look for— involves recognizing those aspects of a discussion that control the meaning.
The second part —how to think about what you find— involves the processes of inference, the interpretation of data from within the text.
Recall that critical reading assumes that each author offers a portrayal of the topic. Critical reading thus relies on an examination of those choices that any and all authors must make when framing a presentation: choices of content, language, and structure. Readers examine each of the three areas of choice, and consider their effect on the meaning.














CHAPTER III
CONGCLUSIONS AND SUGGESTIONS
A. CONCLUSION
Conclution readeng to write the reading passage  tps with learning inference, making prediction and critical reading.
1. Inference is using observation and background to reach a logical conclusion. You probably practice inference every day. For example, if you see someone eating a new food and he or she makes a face, then you infer he does not like it. Or if someone slams a door, you can infer that she is upset about something.
2. Making predictions is a strategy in which readers use information from a text (including titles, headings, pictures, and diagrams) and their own personal experiences to anticipate what they are about to read (or what comes next). A reader involved in making predictions is focused on the text at hand, constantly thinking ahead and also refining, revising, and verifying his or her predictions. This strategy also helps students make connections between their prior knowledge and the text.
3. To the critical reader, any single text provides but one portrayal of the facts, one individual’s “take” on the subject matter. Critical readers thus recognize not only what a text says, but also how that text portrays the subject matter.  They recognize the various ways in which each and every text is the unique creation of a unique author.





B. SUGGESTION
Similarly, we can describe the material that is the subject of this paper, of course, there are still many shortcomings and weaknesses, because they lack the knowledge and the lack of reference or the reference has to do with the title of this paper. Author much hope dear readers, providing constructive criticism and suggestions for the perfect paper to the author in the writing of the paper in the next opportunities.
Hopefully this paper is useful for writers in particular are also dear readers in general. Such review this time, may be useful for you and also inspire.

Makalah harun ar rasyid


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran. Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.
Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
RUMUSAN MASALAH
Sipakah khalifah  Harun Al Rasyid
Bagaimana kepeminpinan Khalifah Harun Al Rasyid
Apa saja Kamajuan yang di capai Kepeminpinan Harun Al Rasyid
Bagaimana penyebab kemunduran & kehancuran kekhalifahan Harn Ar-Rasyid
Bagaimana kronologi meninggalnya Sang Khalifah
 TUJUAN PENULISAN
Untuk menjelaskan siapa Khalifah Harun Ar-Rasyid
Untuk menjelaskan bagaimana masa keemasan Khalifah Harun Ar-Rasyid
Untuk menjelaskan kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid
Untuk menjelaskan kemunduran dan kehancuran kekhalifahan Harun Ar-Rasyid
Untuk menjelaskan kronologi wafatnya sang Khalifah
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI HARUN AL RASYID
Harun Al-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 766 dan wafat pada tanggal 24 Maret 809, d Thus, Khurasan. Harun Al-Rasyid adalah kalifah kelima dari dinasti Abbasiyah dan memerintah antara tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah kalifah yang keempa. Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran seorang wanita sahaya dari Yaman yang dimerdekakan oleh Al-Mahdi. Harun ar-Rasyid memperoleh pendidikan di istana, baik pendidikan agama maupun ilmu pemerintahan. Ia dididik oleh keluarga Barmaki, Yahya bin Khalid salah seorang anggota keluarga Barmak yang berperan dalam pemerintahan Bani Abbasiyah, sehingga ia menjadi terpelajar, cerdas, fasih berbicara dan berkepribadian yang kuat.
Dalam usia yang relatif muda, Harun Al-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.pada tahun 163 H beliau diangkat oleh ayahnya untuk menjadi gubernur di saifah dan pada tahun 164H beliau di beri kewenangan untuk memimpin seluruh wilayah anbar dan negeri-negri di wilayah afrika utara. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah saudaranya al-Hadi.Beliau menjadi khalifah menggantikan kakaknya, al-Hadi pada tahun 170 H.Harun al-rasyid berkuasa selama kurang lebih 23 tahun dan pada masa pemerintahanya islam mencapai puncak kejayaan.ia adalah seorang khalifah yang dicintai oleh rakyatnya karena mempunyai jiwa murah hati dan kedermawanan yang tinggi
Beliau menjadi khalifah menggantikan kakaknya, al hadi pada tahun 170 H. Beliau merupakan khalifah paling baik, dan raja dunia paling agung pada waktu itu. Beliau bisa menunaikan haji setahun dan berperang selama setahun. Sekalipun sebagai seorang khalifah beliau masih sempat shalat yang bila dihitung seharinya encapai seratus rakaat hingga beliau wafat. Beliau tidak meninggalkan hal itu kecuali bila ada uzur. Demikian pula beliau bisa bersedekah dari harta pribadinya setiap hari sebesar 1000 dirham.
Beliau orang yang mencintai ilmu dan penuntut ilmu mengangungkan kerhomatan islam dan membenci debat kusir dalam agama dan perkataan yang bertantangan dengan kitabullah dan assunah annabawiyah.Beliau berumrah tahun 179 H di bulan ramadhan dan terus dalam kondisi ihram hingga melaksanakan kewajiban ibadah haji. Beliau berjalan kaki dari mekah ke padang arafah. Beliau berhasil menguasai kota Hiracle dan menyebarkan pasukannya yang kemudian menaklukan benteng Cicilia, Malconia, dan Cyprus. Lalu menawan penduduknya yang berjumlah 1600 orang.
Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.
Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.

B.     MASA KE EMASAN KHALIFAH HARUN AL RASYID
Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan. Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.
Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.
Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.
Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih. Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.
Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
Era keemasan Islam (The Golden Ages of Islam) tertoreh pada masa ke pemimpinannya. Perhatiannya yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, serta peradaban Islam telah membuat Dinasti Abbasiyah menjadi salah satu negara adikuasa dunia di abad ke-8 M.
Harun Ar-Rasyid adalah Amir para Khalifah Abbasiyah. Dia adalah raja agung pada zamannya. Konon, kehebatannya hanya dapat dibandingkan dengan Karel Agung (742 M – 814 M) di Eropa. Pada masa kekuasaannya, Baghdad ibu kota Abbasiyah – menjelma menjadi metropolitan dunia. Jasanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban hingga abad ke-21 masih dirasakan dan dinikmati masyarakat dunia.
Sejak belia, Harun Ar-Rasyid ditempa dengan pendidikan agama Islam dan pemerintahan di lingkungan istana. Salah satu gurunya yang paling populer adalah Yahya bin Khalid. Berbekal pendidikan yang memadai, Harun pun tumbuh menjadi seorang terpelajar. Harun Ar-Rasyid memang dikenal sebagai pria yang berotak encer, berkepribadian kuat, dan fasih dalam berbicara.
Ketika tumbuh menjadi seorang remaja, Harun Ar-Rasyid sudah mulai diterjunkan ayahnya dalam urusan pemerintahan. Kepemimpinan Harun ditempa sang ayah ketika dipercaya memimpin ekspedisi militer untuk menaklukkan Bizantium sebanyak dua kali. Ekspedisi militer pertama dipimpinnya pada 779 M – 780 M. Dalam ekspedisi kedua yang dilakukan pada 781-782 M, Harun memimpin pasukannya hingga ke pantai Bosporus. Dalam usia yang relatif muda, Harun Ar-Rasyid yang dikenal berwibawa sudah mampu menggerakkan 95 ribu pasukan beserta para pejabat tinggi dan jenderal veteran. Dari mereka pula, Harun banyak belajar tentang strategi pertempuran.
Sebelum dinobatkan sebagai khalifah, Harun didaulat ayahnya menjadi gubernur di As-Siafah tahun 779 M dan di Maghrib pada 780 M. Dua tahun setelah menjadi gubernur, sang ayah mengukuhkannya sebagai putera mahkota untuk menjadi khalifah setelah saudaranya, Al-Hadi. Pada 14 Septempber 786 M, Harun Ar-Rasyid akhirnya menduduki tahta tertinggi di Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah kelima.
Harun Ar-Rasyid berkuasa selama 23 tahun (786 M – 809 M). Selama dua dasawarsa itu, Harun Ar-Rasyid mampu membawa dinasti yang dipimpinnya ke puncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok raja besar Muslim ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.
Ia kerap mengundang para tokoh informal dan profesional itu ke istana untuk mendiskusikan berbagai masalah. Harun Ar-Rasyid begitu menghagai setiap orang. Itulah salah satu yang membuat masyarakat dari berbagai golongan dan status amat menghormati, mengagumi, dan mencintainya. Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin yang mengakar dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai seorang pemimpin dan Muslim yang taat, Harun Ar-Rasyid sangat rajin beribadah. Konon, dia terbiasa menjalankan shalat sunat hingga seratus rakaat setiap harinya. Dua kali dalam setahun, khalifah kerap menunaikan ibadah haji dan umrah dengan berjalan kaki dari Baghdad ke Mekkah. Ia tak pernah lupa mengajak para ulama ketika menunaikan rukun Islam kelima. Jika sang khalifah tak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, maka dihajikannya sebanyak tiga ratus orang di Baghdad dengan biaya penuh dari istana.
Masyarakat Baghdad merasakan dan menikmati suasana aman dan damai di masa pemerintahannya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu Harun Ar-Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).
Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,87 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya. Konon, Harun Ar-Rasyid adalah khalifah yang berperawakan tinggi, bekulit putih, dan tampan. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur. Meski begitu, tak mudah bagi Harun Ar-Rasyid untuk menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya.
Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi di masa kekuasaannya antara lain; pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M); pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M); serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M). Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Di masa kepemimpinannya terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa.
Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan perabadan. Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah – perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan. Sang khalifah tutup usia pada 24 Maret 809 M pada usia yang terbilang muda 46 tahun. Meski begitu pamor dan popularitasnya masih tetap melegenda hingga kini. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu tokoh dalam kitab 1001 malam yang amat populer. Pemimpin yang baik akan tetap dikenang sepanjang masa.

C.     KAMAJUAN  YANG DICAPAI PADA MASA KEPEMINPINAN HARUN AL RASYID
Pemerintahan
Khalifah Harun ar-Rasyid sendiri begitu cekap dalam menguruskan pentadbiran negara.  Beliau telah dapat  membanteras segala kekacauan dan pemberontakan di dalam negaranya dengan pelbagai rintangan dan dugaan. Beliau begitu mengambil berat terhadap kredibiliti tentera-tenteranya dan juga memberi perlindungan serta keselamatan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Ekonomi
Banyak perubahan yang dilakukan oleh beliau dalam membangunkan ekonomi dengan melakukan aktiviti perdagangan, perniagaan dan membawa pedagang-pedagang asing untuk berniaga di Kota Baghdad. Disebabkan usaha inilah, ramai pedagang-pedagang asing yang datang membawa barangan mereka untuk diniagakan di Kota Baghdad.

Hubungan diplomatik
Beliau juga mengadakan hubungan yang baik dengan kuasa-kuasa asing, antaranya kerajaan Byzantium, Peranchis dan keluarga al-Barmaki.
Perhubungan ini bertujuan untuk pendamaian antara kedua-dua belah pihak melalui pembayaran ufti antara Kota Bahgdad dengan kerajaan Byzantium.
Perkembangan Ilmu
Khalifah harun ar-Rasyid dikenali sebagai tokoh negarawan terulung kerana usaha beliau dalam penyebaran ilmu pengetahuan.       Harun ar-Rasyid memperbesar departemen studi ilmiah dan penerjemahan yang didirikan kakeknya, Al-Mansur. Kemurahan hati ar-Rasyid, para menteri dan anggota istana yang berbakat terutama keluarga Barmak, yang saling berlomba membantu ilmu pengetahuan dan kesenian, membuat Baghdad menjadi pusat yang menarik orang-orang terpelajar dari seluruh dunia. Salah satu perkara penting yang menjadikan Harun ar-Rasyid begitu masyhur ialah naungannya atas ilmu dengan mendirikan “Baitul Hikmah” yang merupakan suatu institusi kebudayaan dan pikiran yang cemerlang ketika itu yang telah merintis jalan kearah kebangkitan Eropa.
Oleh kerana itulah, beliau membuka Baitul Hikmah iaitu institusi kebudayaan dan pusat kegiatan ilmu pengetahuan. Disamping itu juga, seseorang khalifah harus tahu untuk membangunkan dan memajukan negara agar menjadi sebuah negara yang maju dalam pelbagai bidang sama ada ekonomi, politik mahupun sosial. Ilmu pengetahuan sangat penting yang seharusnya ada dalam diri seorang khalifah.   Beliau juga mempunyai pengalaman yang cukup luas dalam mentadbir Kota Baghdad selama 23 tahun.
Kemajuan Intelektual
Kemajuan intelektual yang dicapai oleh Khalifah Harun ar-Rasyid juga adalah salah satu sumbangan yang besar diberikan oleh baginda. Terdapat buku-buku yang berupa terjemahan ilmu dari luar ataupun disusun oleh intelektual Islam tergolong dalam kemajuan intelektual.
Beliau dianggap sebagai penaung bagi semua kegiatan ilmu pengetahuan kerana beliau sering kali menganjurkan majlis forum, syarahan dan perbahasan, yang mana akan dihadiri oleh orang ramai dan golongan intelektual di masjid .
Baitul hikmah
Satu lagi sumbangan Khalifah ar-Rasyid yang sangat besar kepada kerajaan Abbasiyah ialah dengan tertubuhnya Baitul Hikmah.Sikap prihatin beliau dalam bidang ilmu pengetahuan mendorong beliau untuk menubuhkan institusi itu sebagai satu tempat penyebaran ilmu pengetahuan.
Semua kegiatan keilmuan ini merupakan satu usaha yang cemerlang dilakukan oleh beliau ketika mentadbir kerajaan Abbasiyah. Baitul Hikmah ini juga menggabungkan berbagai fungsi antaranya ialah sebagai tempat penyimpanan buku-buku, pengumpulan buku, perpustakaan, pusat akademik dan balai penterjemahan.  Ia juga merupakan lambang pendidikan yang terpenting dan telah dapat menandingi kemasyhuran Perpustakaan Iskandariah.
Pembinaan Baitulhikmah  yang merupakan sebuah institusi keilmuan yang ditubuhkan oleh khalifah Harun al- Rashid turut berkembang secara meluas dan mencapai kegemilangannya pada zaman pemerintahan Khalifah al- Makmun. Hasilnya:
Aktiviti penterjemahan dijalankan dengan pesat dan menjadi lebih sistematik.
Penterjemahan karya falsafah dan sains, khususnya daripada bahasa Yunani menjadi kegiatan utama.
Menjadi pusat pengajian yang menjadi tumpuan para ilmuwan dalam pelbagai bidang.
Keberkesanan pemerintahannya dalam bidang penulisan pula  boleh dilihat melalui tiga tahap.
Tahap yang pertama ialah mencatat segala percakapan atau idea. Beliau mengumpul idea yang serupa atau mengumpul hadis Nabi Muhammad s.a.w. ke dalam sebuah buku.
Tahap yang kedua pula mengarang. Terdapat golongan  ulama yang terlibat dalam penulisan pada zaman pemerintahannya. Ramai ulama menyusun hadis dan menghasilkan tulisan dalam bidang fikah, tafsir, sejarah, dan sebagainya seperti Imam Malik  menyusun buku al- Muwatta’, Ibn Ishaq  menyusun sejarah hidup Nabi Muhammad s.a.w., Abu Hanifah  menyusun fikah dan pendapat ijtihad.
Tahap ketiga pula ialah penterjemahan. Penterjemahan pada masa itu mula dibuat daripada bahasa Sanskrit, Suriani, dan Yunani kepada Bahasa Arab. Dua perkara penting berkaitan dengan penterjemahan ialah, di samping menterjemah, orang Islam mencipta dan membuat pembaharuan dalam karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Huraian dan penambahbaikan dibuat terhadap karya dengan memuatkan keterangan dan ulasan. Selain itu,Orang Islam berperanan penting dalam berbakti kepada kebudayaan dunia kerana mereka berjaya memelihara warisan ilmu daripada lenyap semasa masyarakat Eropah dilanda Zaman Gelap
Di bidang Kesusasteraan
Yang telah menjadikan khalifah Harun ar-Rasyid termasyhur dan terkenal ialah melalui buku Seribu Satu Malam, yang telah menduduki tempat paling atas di bidang kesusasteraan dunia. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa dunia
Di bidang hubungan Luar Negeri
Khalifah telah menjalin hubungan diplomatik dengan beberapa negara di timur dan barat. Dialah khalifah pertama yang menerimma para duta besar di istananya. Seperti duta besar yang diutus kaisar Cina dan penguasa Perancis, Charlemagne. Kepada penguasa Perancis ia memberikan sebuah jam yang buat masyarakat barat katika itu masih merupakan barang yang aneh.
Di bidang Kesehatan
Khalifah mendirikan rumah sakit lembaga pendidikan dokter dan farmasi, pada masa itu sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KEKHALIFAHAN HARUN AL-RASYID
Secara umum, ada dua hal yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran kekhalifahan Harun ar-Rasyid, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.Faktor Internal
Semenjak awal pemerintahan Ar-Rasyid, problema suksesi menjadi sangat kritis. Ia telah mewasiatkan tahta kehalifaan kepada putranya yang bernama al-Amin dan kepada putranya yang lebih tua bernama al-Ma’mun seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggalan saudaranya.
Al-Amin adalah anak lelaki dari Subaidah dan Al-Ma’mun ialah anak dari istrinya yang bernama Marajil, seorang hamba sahaya.. Harun ar-Rasyid sangat menyayangi isterinya yang bernama Zubaidah, bahkan ternyata kedudukan isterinya ini setara dengan jabatan khalifah di sisi Harun ar-Rasyid. Atas desakan Zubaidah dan dukungan dari golongan Barmaki yang mendesak agar Al-Amin segera dilantik yang kelak mengganti kedudukan beliau, maka pada tahun 175H / 791 M. Muhammad resmi dilantik menjadi putra mahkota.
Khalifah menyadari bahwa kebijakannya dalam perkara ini adalah suatu kebijakan yang gagal dan akan membawa pada perpecahan dan pertumpahan darah. Oleh karena itu, ia pun mengambil langkah-langkah. Langkah yang paling menonjol yang ditempuhnya untuk menghindari angkara dari anak-anaknya dan menyelamatkan kaum muslim dari suatu keadaan kacau balau yang buruk, beliau melakukan ibadah haji. Di Makkah beliau menulis surat masing-masing berisi pengakuan dari dan kepada kedua anaknya, dan digantungnya di ka`bah, tetapi ternyata kebijakan yang dijalankanya bukan merintis pada perdamaian antara saudara bahkan sebaliknya telah menjadikan perselisihan dan sengketa yang amat buruk di antara Al-Amin dan Al-Ma`mun setelah ayahnya meninggal dunia. Sengketa ini telah mengorbankan beribu-ribu jiwa kaum muslim termasuk Al-Amin sendiri.
2. Faktor Eksternal
Adapun yang menjadi faktor eksternal adalah:
Pengangkatan Ibrahim bin Aqlab sebagai Gubernur turun temurun (800), yang kemudian menjadi Dinasti Aqlabiah, di Afrika Utara (Magribi).
Pemberontakan Rafi’ul al-Laish yang baru dapat dipadamkan pada masa Al-Ma’mun.

WAFATNYA SANG KHALIFAH
Pada perjalanan untuk menumpas kaum pemberontak di Khurasan, Harun ar-Rasyid tertimpa penyakit dan terpaksa berhenti bersama rombongan di desa Sanabat di dekat Tus, dan ditempat ini pula beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 4 Jumaditsani, 193 H /809 M.
Kejayaannya memimpin Dinasti Abbasiyah selama 23 tahun 6 bulan menyebabkan Amer Ali memberi penghormatan terhadap Pemerintah ar-Rasyid yang cemerlang tersebut dengan kata-kata berikut: “Nilailah dia seperti yang Anda sukai dalam ukuran kritik sejarah“ Harun ar-Rasyid senantiasa akan disejajarkan dengan raja dan penguasa terbesar di dunia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Biografi
Harun Al-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 766 dan wafat pada tanggal 24 Maret 809, d Thus, Khurasan. Harun Al-Rasyid adalah kalifah kelima dari dinasti Abbasiyah dan memerintah antara tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah kalifah yang keempat. Ibunya Jurasyiyah dijuluki Khayzuran berasal dari Yaman. Beliau menjadi khalifah menggantikan kakaknya, al hadi pada tahun 170 H.
Masa keemasan Khalifah Harun Ar-Rasyid
Beliau orang yang mencintai ilmu dan penuntut ilmu mengangungkan kerhomatan islam dan membenci debat kusir dalam agama dan perkataan yang bertantangan dengan kitabullah dan assunah annabawiyah.Beliau berumrah tahun 179 H di bulan ramadhan dan terus dalam kondisi ihram hingga melaksanakan kewajiban ibadah haji. Beliau berjalan kaki dari mekah ke padang arafah.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan
Kemajuan yang di capai Khalifah Harun Ar-Rasyid
Masjid, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, rumah sakit, toko obat, jembatan dan terus-terusan dibangunnya, memperlihatkan hasratnya yang besar untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan Negara Harun ar-Rasyid memajukan ekonomi, perdagangan dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan sektor-sektor ini menjadikan Bagdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia. Pada saat itu, banyak terjadi pertukaran barang serta valuta dari berbagai penjuru. Dengan demikian, negara banyak memperoleh pendapatan dari kegiatan perdagangan tersebut lewat sektor pajak sehingga negara mampu membiayai pembangunan sektor-sektor lain.
Gedung-gedung yang megah, sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan juga sarana perdagangan mulai dibangun di kota Bagdad. Tidak lupa, ia membiayai pengembangan ilmu pengetahuan dibidang penerjemahan dan penelitian. Negara mampu memberikan gaji yang tinggi kepada ulama dan ilmuwan. Di samping pembangunan untuk masyarakat juga didirikan beberapa istana yang mencerminkan kemewahan waktu itu, salah satunya adalah istana al-Khuldi.
Kemundura Khalifah Harun Ar-Rasyid
Atas desakan Zubaidah dan dukungan dari golongan Barmaki yang mendesak agar Al-Amin segera dilantik yang kelak mengganti kedudukan beliau, maka pada tahun 175H / 791 M. Muhammad resmi dilantik menjadi putra mahkota.
Pengangkatan Ibrahim bin Aqlab sebagai Gubernur turun temurun (800), yang kemudian menjadi Dinasti Aqlabiah, di Afrika Utara (Magribi).
Pemberontakan Rafi’ul al-Laish yang baru dapat dipadamkan pada masa Al-Ma’mun.

Wafatnya sang Khalifah
Pada perjalanan untuk menumpas kaum pemberontak di Khurasan, Harun ar-Rasyid tertimpa penyakit dan terpaksa berhenti bersama rombongan di desa Sanabat di dekat Tus, dan ditempat ini pula beliau meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 4 Jumaditsani, 193 H /809 M.






DAFTAR PUSTAKA
http://www.vianeso.com/2016/10/makalah-khalifah-harun-al-rasyid_3.html?m=1
http://yusufamrullah23.blogspot.co.id/2014/05/makalah-harun-ar-rasyid.html?m=1
http://uinilmuushuluddin.blogspot.co.id/2015/02/harun-ar-rasyid.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Harun_Ar-Rasyid#/search